Rabu, 08 September 2010

Alon-alon Waton Kelakon

       Hi Sobat, Senangnya hari ini x pertama posting di blog (kyaaaa. . .) Awalnya bingung mo nulis apa (maklum newbie hihihi. . .), sempat terlintas pengalaman jalan-jalan ke Jogja (kayaknya seru nih nulis liburan ke kota Gudeg), Never Ending Asia banget.

    Saat berada di kota Yogyakarta dua minggu lalu, aku sempatkan jalan-jalan ke tempat yang biasa dikunjungi orang sewaktu datang ke kota Sultan Hamengkubuwono X yaitu Malioboro. Seperti sudah menjadi rutinitas kehidupan di Malioboro, hiruk pikuk keramaian Malioboro diwarnai lalu lalang orang menawarkan andong kuda, becak, warung lesehan, penjaja barang seni, tas dan kaos. Kali ini aku berkeinginan membeli oleh-oleh kaos oblong khas Yogyakarta yang merknya begitu banyak, terutama yang ada tulisan atau kata-kata bahasa Jawa. Saat memilih, mata saya terpaku pakai tulisan ”Alon-Alon Waton Kelakon ” dengan gambar kura-kura yang unik.  Saat itulah aku ingat simbah dan ingat wejangannya pula sewaktu masih tinggal bersama di desa lumbung padi Jawa Tengah, Juwiring - Delanggu , tentang parikan yang tertulis di kaos oblong tersebut.

          Ah, ingatanku kembali menerawang masa kecil dulu : 
“ Nih lihat mbah, biar kurus kerempeng begini,..dalem bisa angkat karung gabah besar ini..” sambil kutunjukan ’ telur ’ di dua lengan seraya menunjukan gaya binaragawan. Jelas tidak ada yang menonjol di kedua lengan yang kecil itu, hanya garis-garis belulang yang justru membuat simbah terkekeh-kekeh dan ....... 

      Satu, dua, ti.... ups, saya terjungkal bersama karung yang coba saya angkat. Simbah malah ketawa melihat ulah cucunya yang masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Jelas tangan kecilku tak mampu merengkuh karung lingkar  yang besar dan tingginya melebihi tinggi badanku. Biasanya hanya orang- orang dewasa yang sanggup memanggul karung-karung gabah itu yang di ambil dari dari tempat penggilingan padi di desa. 

      Aku agak sedih dan murung karena merasa gagal menunjukkan kepada simbah, bahwa sebagai anak perempuan pertama (mbarep) patut dibanggakan dan bisa diandalkan membantu keluarga. ” Wis to nduk... rasah sedih...” simbahpun tak kehabisan akal, diturunkannya karung-karung gabah dan diambil sebagian kecil untuk dimasukkan dalam sebuah karung yang berukuran kecil agar bisa di panggul oleh cucunya. Sambil membantu mengangkat karung itu sampai kepundak sang cucu, bibirnya berkata lembut, ” alon-alon waton kelakon yo nduk...” 

      Alon-alon waton kelakon, prinsip yang konon di pakai orang – orang Jawa  dalam menyelesaikan semua pekerjaannya, sebenarnya tidak identik dengan kelambanan dalam bergerak. Tentu makna sesungguhnya adalah nilai-nilai bahwa kita tidak boleh terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu, bahwa harus pandai memilih dan memilah hal-hal mana yang mesti disegerakan penyelesaiannya, bukan berarti harus di selesaikan dengan tergesa-gesa ( isti’jal) karena hal itu jelas akan melawan gerak alam ini sendiri  yang terjadi dan tercipta secara bertahap. 

       Alon-alon waton kelakon juga bukan seperti kura-kura yang harus berjalan lembut, jika mampu berbuat lebih cepat dari biasanya, kenapa tidak di lakukan sehingga bisa lebih banyak pekerjaan yang diselesaikan dari waktu yang tersedia. Manusia tidak akan pernah bisa berdiri dua urusan. Harus ada yang menjadi prioritas. Kerena jika dipaksakan merangkul keduanya,alternatifnya cuma tiga, keduanya selesai tapi setengah-setengah, salah satu gagal atau dua-duanya gagal. 

      Alon – alon waton kelakon juga mengandung makna tuma’ninah. Tenang dan tidak grasa-grusu dalam melaksananakan pekerjaan. Sesuatu yang di lakukan dengan tenang, InsyAllah akan membuahkan hasil yang lebih maximal, baik dan rapi. Ketenangan salah satunya didapat dari selalu mengingat Sang Khalik (Dzikrullah), mungkin di sinilah makna dari prinsip orang Jawa itu dalam bekerja. Bahwa dalam kesibukan bekerja, berpacu dengan waktu yang berlari cepat, tetap ada waktu-waktu yang kita berhenti dan menghadap-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

      Duh,rasanya kok aku rindu untuk melihat wajah teduh simbah, hingar-bingar kota terkadang membuat terlecut untuk berlari cepat dan takut tertinggal. Tetapi disisi lain justru aku meninggalkan orang-orang yang secara tidak langsung sudah membantu meraih sesuatu yang lebih baik. Akhirnya selesai Holliday di Yogyakarata selain penyegaran kualitas kerja yang dapat dibawa pulang....kaos oblong , bakpia batok, baju batik dan kain jarit sudah saya dapatkan untuk oleh-oleh. (Kembali ke rutinitas kantor)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar